Kamis, 06 Juni 2013

FATWA MANASIK HAJI UNTUK WANITA – Tanya Jawab



Fatwa Haji Umrah Untuk WanitaTausiyah.com Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, keluarga dan pengikut mereka yang setia sampai hari kiamat. Berikut ini fatwa-fatwa dari kumpulan fatwaSamaahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah dengan harapan akan merata manfaatnya dan akan menjadi rujukan/ panduan yang jelas bagi mereka yang tidak memungkinkan untuk memperdalam masalah hukum-hukum haji. Kami berdoa kepada Allah agar Dia membalas setiap orang yang membaca dan berpartisipasi dalam menyebarkan fatwa ini. Berikut ini FATWA MANASIK HAJI UNTUK WANITA yang disusun oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah dan diterjemahkan oleh Mohammad Latif. Semoga bermanfaat untuk kita semua.
FATWA MANASIK HAJI UNTUK WANITA
( باللغة الإندونيسية )

فتاوى الحج للنساء
Disusun Oleh:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah
إعداد:
الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز رحمه الله
Penerjemah :
Mohammad Latif
ترجمة:
محمد لطيف
 Murajaah :
Abu Ziyad
مراجعة:
إيكو أبو زياد

Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
 المكتب التعاوني للدعوة وتوعية الجاليات بالربوة بمدينة الرياض
1430 – 2009
FATWA MANASIK HAJI UNTUK WANITA
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah
Daar Ibnu Khuzaimah

Segala puji milik Allah Tuhan sekalian alam. Sholawat dan salam semoga tercurahkan untuk penghulu para rasul, nabi kita Muhammad SAW. Inilah beberapa fatwa penting yang amat dibutuhkan oleh jamaah haji baik laki -laki maupun wanita yang hendak beribadah haji sesuai petunjuk agamanya. Dan kami telah mengumpulkan serta memilah fatwa-fatwa tersebut dari kumpulan fatwa Samaahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah dengan harapan akan merata manfaatnya dan akan menjadi rujukan/ panduan yang jelas bagi mereka yang tidak memungkinkan untuk memperdalam masalah hukum-hukum haji. Kami berdoa kepada Allah agar Dia membalas setiap orang yang membaca dan berpartisipasi dalam menyebarkan fatwa ini.

  • Wanita berihram dengan mengenakan busana muslimah biasa
Pertanyaan: Bolehkah bagi wanita untuk berihram dengan busana apapun yang ia kehendaki?

Jawab: Ya boleh, Ia boleh berihram dengan busana yang ia kehendaki, tidak ada pakaian khusus untuk ihram bagi wanita sebagaimana persangkaan sebagian orang awam. Akan tetapi yang lebih utama ia berihram dengan busana yang tidak mencolok dan tembus pandang, karena ia akan berkumpul dengan banyak orang. Maka seyogyanya pakaian ihromnya tidak tembus pandang dan mencolok tetapi yang biasa dan tidak mengundang fitnah. Seandainya ia berihram menggunakan pakaian yang mencolok maka ihramnya sah tetapi ia meninggalkan sesuatu yang lebih utama.
Adapun laki-laki yang lebih utama ialah berihram dengan dua lembar kain putih, terdiri dari sarung dan selendang. Dan jika ia berihram dengan pakaian selain warna putih maka tidak mengapa. Terdapat penjelasan dari Rasulullah SAW bahwasannya beliau memakai sorban berwarna hitam. Yang penting tidak mengapa orang laki-laki berihram dengan pakaian selain warna putih.


  • Wanita yang melepas pakaian ihram karena alasan haid setelah ia berniat ihram untuk umrah
Pertanyaan: Seorang wanita berihram untuk umrah lalu datang waktu haid, lalu ia menanggalkan pakaian ihramnya dan membatalkan umrahnya lalu pulang (ke negrinya), bagaimana hukumnya?

Jawab: Wanita tersebut tetap dalam keadaan ihram secara hukum, adapun ia menanggalkan pakaian ihramnya tidak mengeluarkannya dari keadaan ihram secara hukum. Dan wajib baginya untuk kembali ke Mekkah lalu menyempurnakan umrahnya dan tidak ada kaffarah (denda) baginya lantaran menanggalkan pakaian umrah serta kepulangannya ke negrinya jika perbuatannya tersebut dilakukan karena unsur ketidak tahuan. Akan tetapi jika ia telah bersuami lalu suaminya menyetubuhinya sebelum ia kembali (ke Mekkah) untuk menunaikan umrah maka hal itu akan merusakkan umrahnya. Walaupun demikian ia wajib menunaikan umrahnya tersebut, walaupun sudah rusak, lalu menggantinya dengan umrah yang lain dan bersamaan dengan itu ia terkena fidyah (tebusan) yaitu sepertujuh unta atau sepertujuh sapi atau seekor kambing yang berumur enam bulan atau satu tahun yang disembelih di Tanah Haram Mekkah lalu dibagikan kepada fakir miskin di Tanah Haram sebagai akibat rusaknya umrah karena bersetubuh. Dan bagi wanita diperbolehkan berihram dengan pakaian apapun yang ia kehendaki. Tidak ada pakaian khusus untuk berihram bagi wanita sebagaimana persangkaan orang awam, akan tetapi yang lebih utama hendaklah pakaian ihramnya tidak mencolok sehingga tidak mengundang fitnah. Wallahu a’lam.

  • Hukum melepas jalinan rambut wanita saat ia berihram

Petanyaan: Apakah melepas jalinan rambut atau memakai pacar di tangan atau kedua kakinya saat wanita berihram termasuk larangan ?

Jawab: Tidak mengapa dalam masalah ini. Melepas jalinan rambut tidak mengakibatkan resiko apa-apa dan tidak pula dianggap sengaja memotong rambut. Menguraikan jalinan rambut untuk dicuci atau sebab lain tidak mengapa. Yang dilarang adalah memotong rambut sebelum selesai (tahallul) dari ihramnya. Adapun melepas jalinan rambut atau membilas rambut dengan sesuatu atau menyemirnya dengan pacar dan yang semisalnya maka tidak memudharatkan. Tetapi jika ia mewarnai tangan dan kedua kakinya, hendaklah ia menutupnya dengan pakaian dari pandangan orang lain, karena (bila tidak) akan mengundang fitnah / (menarik pandangan lelaki yang bukan muhrimnya-pent).
- Seandainya ia mencampur pacar dengan sesuatu yang mirip minyak wangi (bagaimana)? Tidak boleh, minyak wangi tidak boleh, terlarang. Tetapi kalau pacar saja tanpa ada tambahan lain tidak mengapa asalkan tangan dan kaki tertutup saat thawaf, sa’i dan saat berada di tengah laki-laki.

  • Hukum rambut kepala yang rontok

Pertanyaan: Apa yang seharusnya dilakukan wanita yang sedang berihram jika rambut kepalanya rontok tanpa kesengajaan ?

Jawab: Jika seseorang sedang berihram baik laki-laki maupun wanita lalu ada beberapa helai rambut yang rontok saat mengusap kepala baik sewaktu berwudhu maupun mandi maka hal tersebut tidak memudharatkannya. Begitu juga jenggot, kumis, atau kuku tidak mengapa asalkan tidak disengaja. Hanya saja yang dilarang jika sengaja memotongnya, adapun sesuatu yang lepas/jatuh dengan tanpa sengaja tidaklah mengapa karena ia adalah anggota tubuh yang tidak bernyawa yang mungkin lepas saat bergerak.Wallahu a’lam.

Petanyaan: Bolehkah wanita yang sedang haid membaca buku-buku doa pada hari Arafah mengingat padanya terdapat ayat-ayat Al Quran?

Jawab: Tidak ada halangan bagi wanita haid dan nifas membaca doa-oa yang tertulis saat menjalankan ibadah haji. Dan juga tidak mengapa  membaca Al Quran menurut pendapat yang benar, karena tidak terdapat nash yang benar dan tegas yang melarang wanita haid dan nifas untuk membaca Al Quran. Hanya saja terdapat (keterangan) secara khusus bagi orang yang junub untuk tidak membaca Al Quran dalam keadaan junub, berdasarkan hadits Ali radliyaallahu ‘anhu. Adapun wanita haid dan nifas maka terdapat hadits Ibnu Umar radliyaallahu ‘anhuma : Janganlah wanita haid dan nifas membaca sesuatu dari Al Quran. Akan tetapi hadits tersebut lemah karena dari riwayat Ismail bin ’Iyasy dari kaum Hijaz, padahal ia adalah rawi yang dlaif (lemah) jika meriwayatkan dari mereka. Akan tetapi wanita yang haid dan nifas boleh membaca dalam hati tanpa menyentuh mushaf Al Quran. Adapun orang yang sedang junub tidak diperbolehkan membaca Al Quran baik dalam hati maupun langsung dari mushaf sampai ia mandi. Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa orang yang junub masanya singkat dimana kemungkinannya untuk mandi seketika setelah selesai bersetubuh dengan istrinya kapan ia mau ia bisa mandi. Dan jika tidak mungkin menggunakan air ia dapat bertayammum lalu shalat dan membaca (Al Quran).

Adapun wanita yang haid dan nifas maka bukan kemauannya tetapi semata-mata adalah kehendak AllahAzza Wa Jalla, kapan ia suci dari haid atau nifasnya ia harus mandi. Haid membutuhkan waktu beberapa hari demikian juga nifas. Oleh karena itu dibolehkan bagi kedua golongan tersebut untuk membaca Al Quran agar tidak lupa dan tidak terlewatkan keutamaan membaca Al Quran. Juga dibolehkan untuk mempelajari hukum-hukum syariat dari kitab Allah terlebih lagi membaca buku-buku yang berisi doa-doa yang diambil dari hadits dan ayat Al Quran atau yang lainnya. Inilah yang benar dan merupakan pendapat yang paling benar dari dua perkataan  para ulama (semoga Allah merahmati mereka)  dalam masalah ini.

  • Hukum menggunakan tablet penunda haid

Pertanyaan: Apakah termasuk perkara yang dibolehkan bagi seorang wanita untuk menggunakan tablet penunda haid (siklus bulanan) sampai ia selesai menunaikan kewajiban haji? Dan adakah alternatif lain baginya?

Jawab: Tidak ada halangan bagi seorang wanita untuk menggunakan tablet penunda haid yang bisa menghalangi haid pada hari-hari bulan Ramadhan sehingga ia bisa berpuasa bersama kaum muslimin dan pada musim haji sehingga ia dapat thawaf bersama jamaah haji lain dan tidak tertinggal dari amalan-amalan haji. Dan jika ada selain tablet yang dapat mencegah haid maka tidak mengapa selama tidak dilarang oleh syariat dan tidak pula membahayakan.

Pertanyaan: Bagaimana wanita yang sedang haid shalat sunnah ihram dua rakaat? Dan bolehkah ia mengulang-ulang dzikir apa saja dalam hatinya ?

Jawab:
  1. Wanita yang sedang haid tidak boleh sholat sunnah ihram dua rakaat, ia bisa berihram dengan tanpa shalat. Dan dua rakaat ihram hukumnya sunnah menurut sebagian besar (jumhur) ulama, dan sebagian lagi tidak menyukainya karena tidak terdapat nash yang khusus dalam masalah ini. Jumhur ulama menganggapnya sebagai perkara sunnah berdasarkan keterangan dari Nabi Muhammad SAW.………..Allah Azza Wa Jalla: “Shalatlah Engkau di lembah (wadi) yang penuh berkah ini dan ucapkan عمرة في حجة (Diriwayatkan oleh Bukhari di kitab Shahihnya), maksudnya di Waadi Al ‘Aqiiq saat haji wada’. Dan terdapat keterangan dari shahabat bahwa beliau shalat lalu berihram, maka dari itu jumhur ulama menyukai jika niat ihram dilakukan setelah shalat baik shalat wajib maupun sunnah, berwudhu lalu shalat dua rakaat. Wanita yang sedang haid dan nifas tidak termasuk orang yang diwajibkan shalat, sehingga keduanya berihram tanpa diawali dengan shalat, dan juga tidak disyariatkan mengganti shalat dua rakaat tersebut.
  2. Dibolehkan bagi wanita yang haid untuk mengulang-ulang lafadh Al Quran menurut pendapat yang benar, baik di dalam hati dimana hal ini disepakati seluruh ulama. Hanya saja terdapat perbedaan pendapat apakah ia melafadhkannya atau tidak? Sebagian ulama mengharamkan hal tersebut serta menjadikan larangan membaca dan menyentuh Al Quran termasuk bagian dari hukum-hukum haid dan nifas. Dan pendapat yang benar adalah bolehnya membaca Al Quran di dalam hati tetapi bukan dari mushaf, karena tidak ada nash shahih yang melarang hal tersebut berbeda dengan orang yang sedang junub, dimana ia terlarang sehingga mandi atau bertayammum jika tidak mampu mandi sebagaimana penjelasan terdahulu.
Pertanyaan: Tidak sah lagi bahwa thawaf ifadlah merupakan rukun dari rukun-rukun haji. Jika wanita haid tidak mengerjakannya karena sempitnya waktu dan juga tidak ada waktu untuk menunggu masa suci maka bagaimana hukumnya?

Jawab: Wajib baginya dan walinya untuk menunggu sampai ia suci lalu bersuci dan melakukan Thawaf Ifadlah berdasarkan sabda nabi Muhammad SAW tatkala diberitahu bahwa Shafiyyah datang bulan……………..Tatkala diberitahu bahwa ia sudah melakukan Thawaf Ifadlah beliau bersabda: Berangkatlah kalian semua. Tetapi jika tidak memungkinkan untuk menunggu dan mungkin baginya untuk kembali (ke Mekkah) untuk thawaf maka boleh baginya untuk pulang lalu kembali lagi setelah suci untuk melakukan thawaf. Dan jika tidak memungkinkan atau khawatir tidak bisa kembali seperti penduduk dari negeri-negeri yang jauh dari Mekkah al Mukarramah seperti penduduk Maghrib (Maroko), Indonesia dan yang semisal dengan itu maka dibolehkan baginya untuk thawaf dengan niat haji (sambil berhati-hati agar darah haid tidak mengalir) menurut pendapat yang shahih. Dan perbuatannya tersebut dianggap memadai menurut sebagian ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Al ’Allamah Ibnul Qayyim, semoga Allah merahmati keduanya dan para ulama yang lain.

  • Wanita yang haid saat thawaf ifadlah tetapi tetap diteruskan karena malu

Pertanyaan: Seorang wanita berangkat haji lalu tibalah masa haidnya sejak lima hari dari tanggal keberangkatannya. Setelah tiba di miqat ia mandi dan berniat ihram sementara ia belum suci dari haidnya. Ketika tiba di Makkah al Mukarramah ia tinggal di luar Masjidil Haram dan tidak melakukan sedikitpun dari amalan haji dan umrah. Ia tinggal di Mina selama dua hari kemudian suci lalu mandi dan mengerjakan seluruh rangkaian ibadah umrah dalam keadaan suci. Kemudian ia kembali mengeluarkan darah saat sedang thawaf ifadlah waktu haji, hanya saja ia merasa malu dan tetap menyempurnakan seluruh amalan haji. Ia tidak memberitahu walinya kecuali setelah tiba di negaranya, maka bagaimana hukumnya?

Jawab: Jika kenyataannya seperti yang disebutkan penanya maka bagi wanita tersebut harus kembali ke Mekkah lalu thawaf di Ka’bah tujuh putaran dengan niat thawaf haji sebagai pengganti dari thawafnya saat haid, lalu shalat dua rakaat setelah thawaf di belakang maqam Ibrahim atau di tempat lain dalam Masjidil Haram. Dengan demikian sempurnalah hajinya dan wajib baginya menyembelih dam di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang fakir di Mekkah, jika sudah menikah dan sudah bersetubuh dengan suaminya sepulang haji. Karena wanita yang sedang berihram tidak boleh bersetubuh dengan suaminya sebelum thawaf ifadlah, melempar jumrah aqabah saat hari raya Idul Adha dan memotong rambutnya. Dan ia juga wajib sa’i antara Shafa dan Marwa jika ia berhaji tamattu’ dan belum melakukan sa’i haji. Adapun jika ia berhaji qiran atau ifrad maka tidak wajib melakukan sa’i yang kedua jika ia telah melakukannya bersamaan thawaf qudum. Dan ia juga wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas apa yang telah ia perbuat dengan melakukan thawaf saat haid, keluar dari Mekkah sebelum thawaf dan karena mengakhirkan thawaf ifadlah dalam jangka waktu yang lama. Kita memohon kepada Allah agar Ia menerima taubat wanita tersebut.

  •  Wanita yang datang bulan sebelum Thawaf Ifadlah

Pertanyaan: Seorang wanita berhaji bersama suaminya, dan pada hari Arafah ia dikejutkan dengan datangnya haid. Dan seperti diketahui bahwa wanita yang haid dapat melakukan apa yang dilakukan oleh jamaah haji lain kecuali thawaf di ka’bah berdasarkan hadits Aisyah. Akan tetapi apakah ia tetap tinggal di Mekkah sampai thawaf ifadlah atau apa yang harus ia lakukan? Dan apa yang harus ia lakukan saat tinggal di Mekkah jika orang-orang yang bersamanya telah meninggalkan Mekkah?

Jawab: Yang wajib bagi wanita yang sedang haid atau nifas sebelum ia Thawaf Ifadlah adalah tetap tinggal di Mekkah sampai sempurna ibadah hajinya berdasarkan sabda nabi SAW tatkala diberitahu bahwa Shafiyyah sedang haid saat hari raya Idul Adha, beliau bertanya? : …..Para shahabat menjawab: Wahai Rasulallah, ia sudah melakukan thawaf ifadlah. Lalu beliau berkata: Berangkatlah kalian semua (Muttafaqun alaih). Akan tetapi para ulama menyebutkan bahwa jika seorang wanita tidak bisa menunggu sampai suci boleh baginya untuk pulang ke negerinya lalu balik lagi ke Mekkah untuk menyempurnakan hajinya berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: ”Bertakwalah kalian semua kepada Allah semampu kalian” dan sabda nabi SAW : ”Apa-apa yang telah aku larang untuk kalian semua maka jauhilah, dan apa-apa yang aku perintahkan kalian semua maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian” (Muttafaqun ’alaih).
Dan jika ia telah bersuami maka suaminya tidak boleh mendekatinya (menyetubuhinya) sampai ia kembali ke Mekkah dan menyempurnakan hajinya. Adapun thawaf wada’ maka ia gugur atas wanita yang haid dan nifas, berdasarkan hadits dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Ibnu Abbas radliyaallahu ‘anhumabeliau bersabda: Nabi memerintahkan agar akhir amalan (haji) mereka adalah dengan thawaf mengelilingi Ka’bah, hanya saja beliau meringankan bagi wanita yang sedang bulan”.    Allah-lah Yang Memberi taufiq.


  • Wanita yang haid sebelum Thawaf Ifadlah

Pertanyaan: Jika seorang wanita haid sebelum thawaf ifadlah bagaimana hukumnya? Mengingat ia telah melaksanakan amalan-amalan haji lainnya sementara haidnya masih berlanjut sampai hari-hari Tasyriq?

Jawab: Jika seorang wanita haid atau nifas sebelum thawaf haji (ifadlah), maka yang tetap menjadi kewajibannya adalah thawaf  sampai ia suci. Apabila telah suci ia harus mandi lalu thawaf untuk hajinya walaupun beberapa hari setelah selesai haji, bahkan masuk bulan Muharram atau Shafar sekalipun. Tidak ada batasan waktu, tergantung kemudahan. Dan sebagian ulama berpandangan bahwasannya tidak boleh mengakhirkan thawaf sampai setelah Bulan Dzulhijjah, akan tetapi ini adalah pendapat yang tidak ada dalilnya, bahkan yang benar boleh mengakhirkannya. Akan tetapi bersegera untuk melakukannya jika mampu adalah lebih utama. Jika ia mengakhirkannya setelah Dzulhijjah maka dianggap cukup dan ia tidak terkena dam. Karena wanita haid dan nifas adalah termasuk orang yang memiliki udzur sehingga tidak ada halangan atas keduanya, karena tidak mungkin menghindar dalam masalah ini. Jika keduanya telah suci bisa melakukan thawaf baik di bulan Dzulhijjah maupun di bulan Muharram.

  •  Mengumpuli istri setelah thawaf ifadlah

Pertanyaan: Apabila seorang jamaah haji selesai mengerjakan thawaf ifadlah apakah boleh baginya untuk berkumpul dengan istrinya selama hari-hari Tasyriq?

Jawab: Apabila seorang jamaah haji selesai mengerjakan thawaf ifadlah tidak halal baginya untuk mendatangi istrinya kecuali telah menyempurnakan amalan-amalan lainnya seperti melempar jumrah aqabah,mencukur atau memendekkan rambut. Dan ketika itu dihalalkan baginya wanita dan jika belum maka tidak boleh. Thawaf saja tidak cukup tetapi harus melempar jumrah aqabah pada hari Ied, demikian juga mencukur atau memendekkan rambut dan melakukan sa’i jika ia belum melakukannya. Dengan ini semua halal baginya untuk mencampuri istri, adapun tanpa ini semua tidak boleh. Tetapi jika ia telah melakukan dua dari tiga amalan haji seperti melempar jumrah dan mencukur atau memendekkan rambut maka dibolehkan baginya pakaian berjahit, wewangian dan yang semisalnya kecuali jima’. Demikian juga jika ia telah melempar lalu thawaf atau mencukur maka halal baginya wewangian, pakaian berjahit, binatang buruan, memotong kuku dan yang semisalnya, akan tetapi tidak halal baginya berjima dengan istri kecuali dengan berkumpulnya tiga perkara yaitu melempar jumrah aqabah, mencukur atau memendekkan rambut, thawaf ifadlah dan sa’i jika ia mempunyai kewajiban sa’i seperti orang yang berhaji tamattu’. Setelah ini semua barulah halal baginya (bersetubuh dengan) wanita. Wallahu a’lam.


  •  Mewakilkan (orang lain) saat melempar jumrah

Pertanyaan: Apakah boleh mewakilkan orang yang sudah tua saat melempar jumrah karena alasan sakit atau yang semisalnya?

Jawab: Ya boleh mewakilkan orang yang sudah tua saat melempar jumrah karena alasan sakit, sudah tua atau masih terlalu kecil. Demikian pula bagi mereka yang khawatir atas keselamatan orang lain seperti wanita hamil dan yang memiliki anak kecil dimana ia tidak mendapati orang yang bisa menjaga anaknya sampai ia kembali dari melempar. Karena dikhawatirkan terjadi bahaya dan kecelakaan bagi kedua orang tersebut jika berdesakan dengan banyak orang saat melempar. Para ulama telah menentukan masalah ini dan mereka berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Jabirradliyaallahu ‘anhu ia berkata: Kami berhaji bersama Rasulullah SAW dan ikut bersama kami wanita dan anak-anak. Maka kami pun bertalbiyah untuk anak-anak dan melempar jumrah untuk mereka. Termasuk juga argumentasi mereka dalam masalah ini adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Bertakwalah kalian semua sesuai kemampuan kalian” dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan ” (Surat Al Baqarah:195) dan sabda nabi: “Jika aku memerintahkan kalian suatu perkara maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian” serta sabda beliau : “Tidak boleh memberikan mudharat dan tidak pula mendapatkan kemudharatan”

  • Hukum wanita mengenakan kaos kaki saat ihram

Pertanyaan: Aku mengenakan kaos kaki hitam yang menutupi kedua kakiku saat ihram dan akupun thawaf dengannya. Lalu ada yang mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan ihram dan aku terkena dam. Aku mohon penjelasan kepada Anda Syaikh yang mulia tentang hukum mengenakan kaos kaki saat ihram, thawaf dan shalat? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.

Jawab: Ini adalah perbuatan mulia yang perlu anda syukuri dikarenakan hal tersebut dapat menutup aurat serta menjauhkan dari sebab-sebab timbulnya fitnah. Dan yang mengatakan kepada anda bahwa anda terkena dam dalam masalah tersebut sesungguhnya telah salah dan berlebih-lebihan. Karena yang dilarang bagi wanita yang berihram adalah mengenakan kaos tangan saja. Adapun mengenakan kaos di kedua kaki bagi wanita maka tidak mengapa bahkan merupakan keharusan saat thawaf dan shalat. Dan tidak ada halangan untuk menutupi keduanya dengan pakaian yang lebar yang menutupi kedua kakinya pada saat thawaf dan shalat. Dan tidak disyaratkan kaos kakinya berwarna hitam boleh juga berwarna selain hitam dengan syarat menutup kedua kaki. Semoga Allah menganugerahkan taufiq kepada kita semua untuk mendapatkan kebenaran. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.

  • Apabila seorang wanita nifas pada hari kedelapan Dzulhijjah lalu suci sepuluh hari kemudian

Pertanyaan: Wanita yang nifas apabila masa nifasnya dimulai dari hari tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) dan ia sudah menyempurnakan semua rukun haji kecuali thawaf dan sa’i, hanya saja ia memperkirakan akan suci terhitung sepuluh hari lagi, apakah ia bersuci lalu mandi dan menyelesaikan rukun haji yang belum (ia kerjakan) yaitu thawaf haji?

Jawab: Ya, jika ia nifas pada hari kedelapan misalnya maka ia harus berhaji lalu wukuf bersama jamaah haji lain di Arafah dan Muzdalifah. Dan ia juga harus melakukan apa yang dikerjakan jamaah haji lain seperti melempar jumrah, memotong rambut, menyembelih hadyu dan yang lainnya. Selanjutnya yang tersisa baginya hanyalah thawaf dan sa’i yang dapat ia tangguhkan sampai suci. Jika telah suci setelah sepuluh hari, lebih atau kurang, ia mandi lalu shalat, puasa, thawaf dan sa’i. Dan tidak ada batasan minimal untuk nifas, mungkin saja seorang wanita suci dalam masa sepuluh hari atau bisa kurang atau lebih dari itu, tetapi batas maksimalnya adalah empat puluh hari. Jika telah sempurna empat puluh hari sementara darah belum terhenti maka ia teranggap sudah suci. Ia harus mandi, sholat, puasa sementara darah yang masih tersisa menurut pendapat yang benar adalah darah rusak. Ia dapat shalat walaupun masih ada sisa darah, berpuasa dan halal bagi suaminya untuk menggaulinya, tetapi hendaknya ia berusaha untuk menahan darah dengan kapas atau yang semisalnya dan berwudlu setiap akan shalat serta tidak mengapa baginya untuk menjama’ shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan isya sebagaimana nabi SAW telah berwasiat kepada Hamnah binti Jahsy tentang hal itu.

  • Hukum wanita yang sedang haid berihram untuk umrah

Pertanyaan: Seorang wanita bertanya sambil bercerita: Ia pernah terkena udzur yaitu haid, sementara keluarga mengajaknya pergi umrah, jika tidak ikut ia akan sendirian di rumah. Lalu ia pun pergi umrah bersama mereka. Ia menyempurnakan semua syarat umrah seperi thawaf, sa’i seakan-akan ia tidak dalam keadaan haid. Hal itu karena tidak mengerti dan rasa malu untuk memberitahu walinya tentang masalah itu terlebih lagi ia seorang yang buta huruf tidak mengenal baca tulis. Apa yang wajib baginya?

Jawab: Jika ia berihram untuk umrah bersama keluarga maka wajib baginya untuk mengulang thawaf setelah mandi dan mengulang potong rambut. Adapun sa’i dianggap mencukupi menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat ulama. Dan jika ia mengulang sa’i setelah thawaf tentu lebih baik dan lebih berhati-hati. Dan ia harus bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena thawaf, sa’i dan shalat sunah thawaf dua rakaat dilakukan dalam keadaan haid.
Jika ia telah bersuami tidak halal bagi suaminya untuk menggaulinya sampai ia menyempurnakan umrahnya. Dan jika suami sudah terlanjur menggaulinya sebelum ia menyempurnakan umrahnya maka ia terkena dam yaitu seekor kambing berumur enam bulan atau satu tahun yang disembelih di Mekkah untuk orang-orang fakir. Selain itu ia juga wajib menyempurnakan umrahnya sebagaimana yang telah kami sebutkan baru saja. Ia juga harus mengerjakan umrah yang lain dari miqat dimana ia berihram saat umrah pertama sebagai pengganti umrahnya yang telah rusak. Jika saat ia thawaf dan sa’i bersama keluarga tersebut karena sungkan dan malu sedang ia tidak berihram untuk umrah dari miqat, maka tidak ada kewajiban baginya kecuali bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena umrah dan haji tidak sah tanpa ihram, sedang ihram sendiri adalah berniat umrah atau haji atau keduanya sekaligus.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

back to top